8 Okt 2011

MEMAHAMI DAN MENSIKAPI PLURALISME


Oleh : Andy P. Wijaya ( Abu Kayla )*

"(Tulisan ini dipersembahkan untuk pengurus baru Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Piyungan dan Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah Piyungan yang terpilih dalam Musyawarah Cabang Bersama Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada tanggal 10 April 2011)".

Dewasa ini di negeri Indonesia, dimana kita berpijak saat ini, sering terjadi kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Kekerasan-kekerasan tersebut tidak jarang menggunakan asma Allah untuk melegitimasinya. Banyak kaum intelektual yang melakukan analisa mengenai fenomena-fenomena kekerasan yang menggunakan nama Allah tersebut, dan hasil dari analisa kaum intelektual kebanyakan adalah “kekerasan atas nama agama tersebut terjadi karena kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang dianggap tidak mampu mengatasi berbagai macam persoalan krusial yang berkaitan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan sehingga masyarakat harus turun tangan sendiri untuk menyelesaikan persolan tersebut”. Persoalan yang dianggap krusial yang menyebabkan konflik tersebut juga perlu kita cermati lagi apakah benar kita sudah perlu untuk mengangkat pedang atas nama Allah atau sebenarnya persoalan yang dianggap krusial tersebut hanya sebuah persoalan mengenai tata cara hidup berdampingan dalam sebuah bangsa, persoalan antara mayoritas dan minoritas, dan persoalan muamalah duniawiyah. Terlepas dari semua yang terjadi saat ini, nampaknya kita perlu belajar  lagi mengenai pluralisme demi terwujudnya masyarakat yang dinamis, aman,dan sejahtera.
Pluralisme di dalam kamus pintar populer  diartikan sebagai “konsepsi yang tegas berbagai prinsip, ruang lingkup dan kenyataan yang tak mungkin diubah lagi”, sedangkan plurality pattern (pola pluralitan) yaitu “suatu kemajemukan persahabatan yang mendalam, hingga menciptakan pola tertentu”. Berdasarkan pengertian di atas, maka konsep pluralisme dalam masyarakat dapat diartikan secara lebih luas yaitu “sikap menghargai dan mengakui adanya perbedaan atau kemajemukan di tengah-tengah masyarakat”. Hal ini senada dengan firman Allah swt dalam Q.S. Al Hujarat ayat 13 yang artinya : “Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha mengetahui, Maha teliti”. Sudah menjadi sunatullah adanya perbedaan di muka bumi ini, jadi sebagai muslim yang baik kita harus mengakui dan menghargai perbedaan tersebut. Kita harus dapat mengelola perbedaan menjadi sesuatu yang indah di muka bumi ini, bukan menjadikan perbedaan sebagai ajang pamer eksistensi diri seperti yang pintar menindas yang bodoh, yang kaya menindas yang miskin, yang mayoritas menindas yang minoritas, dll.
Untuk berlangsungnya kehidupan yang harmonis maka kita dalam bermasyarakat harus mengedepankan pluralisme yaitu sikap menghargai dan mengakui adanya perbedaan atau kemajemukan. Paling tidak pluralisme dalam kehidupan masyarakat dapat ditopang dengan dua pilar yaitu tasamuh dan tabayyun. Tasamuh merupakan sikap toleransi atau menghargai terhadap sesama dalam kehidupan ini. Sikap tasamuh ini harus kita tanamkan dalam kepribadian kita karena kita hidup di dunia ini tidak sendirian, akan tetapi kita hidup bersama masyarakat luas dan berada dalam sistem sosial yang terbentuk secara alamiah akibat dari hasil interaksi sosial antar anggota masyarakat. Apabila tasamuh tidak kita kedepankan,maka kita akan menjadi individu yang egois atau mementingkan diri sendiri sehingga secara alamiah pula kita akan tersingkir dari sistem sosial yang ada. Selain itu apabila sikap tasamuh tidak kita kedepankan dalam bermasyarakat maka kita akan rentan dan berpotensi terhadap konflik-konflik sosial yang kadang konflik tersebut juga diatasnamakan dengan agama.
Sedangkan tabayyun berasal dari kata tabayyana tabayyunan. Kata tabayyun itu mashdar (kata benda) dari tabayyunan. Tabayyun berarti mencari kejelasan informasi dan mencari bukti kebenaran informasi yang diterima. Sikap tabayyun ini juga perlu kita tanamkan dalam kepribadian kita supaya tidak mudah terjebak kedalam konflik yang belum jelas akar permasalahannya. Setiap permasalahan yang ada di lingkungan sekitar, sebaiknya kita harus mengetahui duduk permasalahannya secara jelas. Jangan sampai kita melakukan perbuatan yang sifatnya destruktif tanpa mengetahui permasalahan apa yang sesungguhnya terjadi. Maka kita harus selalu mencari kejelasan informasi dan mencari bukti kebenaran informasi yang kita terima supaya kita tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu yang bisa menyebabkan ketidakharmonisan dalam bermasyarakat. Selain itu dengan sikap tabayyun kita dapat terhindar dari prasangka-prasangka yang menyebabkan permusuhan diantara kita. Allah berfirman dalam surat Al Hujurat aya 12 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha penerima tobat, Maha penyayang”.
Perintah untuk melakukan tabayyun ini juga terdapat di dalam Al Qur’an surat An Nisa ayat 94 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah keterangan/informasi) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, ”kamu bukan orang yang beriman”, (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah memberikan nikmat kepadamu, maka telitilah. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. Perintah untuk tabayyun merupakan perintah yang sangat penting, terutama pada akhir-akhir ini dimana kehidupan antar sesama umat sering dihinggapi prasangka. Allah memerintahkan kita untuk bersikap hati-hati dan mengharuskan untuk mencari bukti yang terkait dengan isu mengenai suatu tuduhan atau yang menyangkut identifikasi seseorang.
Dalam Tafsir Al Qur’an Departemen Agama tahun 2004 mengenai surat An Nisa ayat 94 di atas, tersirat suatu perintah Allah bahwa setiap mukmin yang sedang berjihad fi sabilillah hendaknya bersikap hati-hati dan teliti terhadap orang lain. Jangan sampai kita tergesa-gesa menuduh orang lain, apalagi tuduhan itu diikuti dengan tindakan yang bersifat merusak atau kekerasan. Terhadap mereka yang mengucap “Assalamu’alaikum” atau “la ilaaha illallah”, misalnya, yaitu ucapan yang lazim dalam Islam, terhadap orang tersebut tidak boleh dituduh “kafir”, sekalipun ucapan itu hanya dhahirnya. Ini hanya sekedar contoh, dimana kita tidak boleh gegabah dalam mensikapi orang lain.
Saat ini banyak orang atau suatu kelompok yang sering atau gampang berprasangka negative terhadap kelompok lain, atau menuduh sesat golongan lain, dan kadang disertai hujatan, penghakiman secara sepihak, dll. Mensikapi orang lain hanya berdasar pada sangkaan-sangkaan negative atau isu-isu yang beredar atau bisikan orang lain, merupakan sikap yang tidak tabayyun, atau tidak mau tau apa yang sebenarnya terjadi. Perintah tabayyun atau mendalami masalah, merupakan peringatan supaya jangan sampai umat Islam melakukan tindakan yang menimbulkan dosa dan penyesalan akibat keputusannya yang tidak adil atau merugikan pihak lain. Oleh karena itu, sikap tabayyun sangat penting dalam menopang tegaknya pluralisme di kehidupan masyarakat.
Pluralisme memang perlu ditegakkan demi terwujudnya masyarakat yang harmonis, akan tetapi ada satu jenis pluralisme yang wajib untuk kita hindari yaitu pluralisme agama. Pengertian pluralisme agama berbeda dengan pluralisme secara umum yang sudah dijelaskan di atas, akan tetapi pengertian pluralisme agama adalah sikap atau pemahaman yang menganggap bahwa semua agama yang ada di muka bumi ini semua benar dan sama. Meskipun para penganut pluralisme agama ini juga berpendapat bahwa sikap pluralisme agama ditegakkan demi terwujudnya masyarakat yang harmonis, akan tetapi hal itu tetap tidak bisa dibenarkan. Orang Islam yang mukmin harus selalu menyakini bahwa agama yang benar dan diterima oleh Allah hanyalah Islam. Hal ini senada dengan firman Allah “inna dinna ‘indaallahil islam” (agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam). Prof. DR. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga berpendapat bahwa mengakui keanekaragaman agama dan keberagaman orang lain bukan berarti menyamakan semua agama dan bukan berarti membenarkan agama-agama lain itu. Dalam Islam sudah diatur mengenai hubungan antar beragama, jadi kita tidak perlu berpendapat dan memahami bahwa pluralisme agama harus ditegakkan demi terwujudnya masyarakat yang harmonis.
Pada prinsipnya, dalam hal muamalah Islam membolehkan umatnya untuk bermuamalah kepada siapa saja asalkan tidak melanggar syariat Islam. Namun dalam hal aqidah, Islam juga tegas mengaturnya dengan konsep “lakum diinukum wa liyadiin” (agamamu untukmu dan agamaku untukku). Jadi untuk urusan agama kita harus tegas dan keras bahwa Islam adalah agama yang benar dan tidak sama dengan agama-agama lainnya.
Saat ini banyak umat Islam yang aqidahnya sudah tercemari dengan faham pluralisme agama. Kaum yang menganut faham pluralisme agama ini beranggapan bahwa yang berhak masuk surga itu tidak hanya orang Islam saja, akan tetapi orang yang bukan Islam juga bisa masuk surga. Dengan kata lain, bahwa agama di dunia ini tidak hanya Islam saja yang benar akan tetapi agama-agama selain Islam juga benar asalkan beriman dan beramal sholeh. Dasar yang digunakan oleh kaum yag menganut pluralisme agama ini adalah Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 62 yang artinya : “sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabi’in, siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal sholeh, mereka akan menerima pahala dari tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Kaum pluralisme agama menafsirkan ayat tersebut hanya secara harfiah saja, sehingga pemahaman yang diperolehnya adalah “orang-orang yang beriman yang tetap dengan keimanannya, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabi’in yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta melakukan amal sholeh sekalipun tidak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka juga akan memperoleh balasan yang baik pula dari Allah”.
Namun dalam memahami ayat kita tidak boleh hanya menafsirkan secara harfiah saja, akan tetapi paling tidak kita harus mengetahui kadiah asbabunnuzul (sebab diturunkan ayat) dan nasikh mansukh (menghapus dan dihapus), serta kaidah lainnya. Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Salman, sebab turunnya ayat ini (Al Baqarah ayat 62) adalah terkait dengan pertanyaan Salman kepada Rasulullah saw tentang penganut agama yang pernah dianutnya sebelumnya bersama teman-temannya yang dulu. Dalam riwayat lain diterangkan bahwa ketika Salman menceritakan kepada Rasulullah kisah teman-temannya, maka Rasulullah bersabda : “mereka di neraka”. Salman berkata : “seolah-olah gelap gulitalah bumi bagiku, akan tetapi kemudian turunlah Q.S. Al Baqarah ayat 62 ini, maka seolah-olah terang benderanglah dunia bagiku”. [Asy-Syaukani hal. 62].
Menurut Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, setelah Allah menurunkan Surat Al Baqarah ayat 62, lalu Allah menurunkan surat Ali Imran ayat 85 yang artinya : “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Ibnu Abbas berpendapat bahwa surat Ali Imran ayat 85 ini menasikhkan (menghapuskan) surat Al Baqarah ayt 62. Namun ada ulama yang berpendapat lain bahwa surat Ali Imran ayat 85 tidak menasikhkan (menghapuskan) surat Al Baqarah ayat 62, akan tetapi surat Ali Imran ayat 85 ini untuk menegaskan keharusan beriman kepada Nabi Muhammad saw bagi setiap orang yang beriman. [Al Qurthubiy hal. 436].
Surat Al Baqarah ayat 62 sebenarnya menjelaskan bahwa orang-orang yang membenarkan Rasulullah dengan ajaran yang dibawa beliau sebagai kebenaran yang datang dari Allah, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabi’in apabila mereka beriman kepada Allah dan adanya hari akhirat, dengan membuktikan keimanannya melalui mengakui dan mengikuti syariat atau ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw, yang keimanannya itu mendorongnya untuk beramal sholeh dan tidak berpaling sampai akhir hayatnya, maka mereka akan mendapatkan pahalanya dari sisi Allah dan akan mendapatkan kebahagiaan sebagai imbalan dari iman dan amal sholehnya. Jadi tidak ada alasan lagi bagi kaum pluralisme agama yang beranggapan bahwa semua agama di dunia ini sama dan benar semua, serta anggapan bahwa yang berhak untuk masuk surga tidaklah hanya orang Islam saja akan tetapi orang selain Islam pun juga berhak untuk masuk surga. Secara tegas dapat kita simpulkan bahwa anggapan-anggapan kaum pluralisme agama tersebut salah. Hanya Islam agama yang benar dan hanya orang Islam yang taat terhadap perintah Allah dan selalu menjauhi larangan Allah saja yang berhak untuk mendapatkan surga.
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa tidak akan diterima imannya ahli kitab atau siapapun yang sudah mengetahui Nabi Muhammad dan risalah yang dibawanya akan tetapi mereka tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw dan risalah yang dibawanya. Dalam kitab tafsir Al Maraghi dijelaskan pendapat Imam Al ghazali yang menjelaskan bahwa manusia dalam mensikapi risalah Nabi Muhammad saw terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama, orang yang tidak mengetahui sama sekali tentang Muhammad, baik nama ataupun risalahnya, maka orang ini selamat. Kedua, orang yang mengetahui Muhammad dan telah sampai risalahnya kepadanya, tetapi ia tidak mempedulikannya baik karena meremehkan, mengingkari, ataupun karena sombong terhadapnya, maka orang seperti ini nanti akan dituntut di hari akhirat dan akan disiksa karena perbuatannya (keingkarannya). Ketiga, orang yang sudah sampai kepadanya nama Muhammad tetapi belum memahami betul dakwah dan risalahnya, malah informasi yang sampai kepada mereka adalah yang buruk-buruk tentang Muhammad, seperti pembohong, pemalsu yang mengaku sebagai nabi,dll. Mereka tidak mengetahui selain dari itu mengenai Muhammad, maka mereka ini termasuk (disamakan dengan) golongan yang pertama, sebab mereka mendengar tentang Muhammad, tetapi tidak mendapatkan informasi yang benar tentangnya dan risalahnya. [Tafsir Al Maraghi, Terjemahan K. Anshari Umar Sitanggal dkk, Semarang : Toha Putra, 1992, jilid I hal. 237].
Sebagai muslim yang baik kita sudah seharusnya untuk selalu menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat dengan cara saling menghormati dan menghargai adanya perbedaan. Karena sesungguhnya perbedaan ini merupakan sunatullah sehingga kita harus selalu menjaga keharmonisan di dalam perbedaan. Semua perbedaan ini tercipta supaya kita saling mengenal satu sama lainnya, supaya kita dapat belajar dengan adanya perbedaan, serta dengan perbedaan kita dapat mengetahui kebesaran Allah swt. Namun demikian, dengan perbedaan kita tetap tidak boleh menyamakan dalam hal aqidah. Umat Islam harus menyakini bahwa Islam yang benar dan hanya Islam yang akan diterima di sisi Allah swt. Apapun alasannya mengenai soal aqidah, Islam tetap yang benar. Kita harus bisa membedakan antara pluralisme masyarakat dan pluralisme agama, dan kita tidak boleh mencampuradukkan antara pluralisme masyarakat dan pluralisme agama.
Akhir kata, mari kita renungkan ayat Allah dan hadits nabi di bawah ini :
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi".
“Dari Ibnu Umar r.a., bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Aku diperintah memerangi manusia hingga mereka bersaksi tiada Tuhan selain Allah, melaksanakan shalat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah melakukan itu berarti telah melindungi darah dan harta mereka kecuali dengan alasan yang dibenarkan Islam, sedangkan perhitungan mereka (termasuk orang baik atau buruk) adalah wewenang Allah swt”.
(HR. Bukhari, Kitabul Iman Bab Fa in Tabuu wa Aqamu as-shalata, hadits no. 25,dan Hadits riwayat Muslim, Kitabul Iman Bab al-Amru bi Qitalin Naas Hatta Yaqulu Laa Ilaaha Ilallah, hadits no. 22)

Waallahu’alam bisshouwwab,.

Cepokosari, 13 April 2011

Referensi :
  1.   Tafsir Al Qur’an Departemen agama Tahun 2004
  2.    Tafsir Al Maraghi
  3.     Andy p. wijaya, makalah Tabayyun
  4.     Majalah Suara Muhammadiyah
  5.       Majalah Tabligh
  6.      Ceramah-ceramah pengajian
  7. Shahih Bukhari dan Muslim
8.  Mushaf Al Qur’an Terjemah edisi 2002, penerbit Al-huda

* Penulis adalah Ketua Bidang Dakwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Piyungan, Mantan anggota bidang dakwah PC IPM, dan aktifis IMM.


0 komentar:

 

Subscribe to our Newsletter

Contact our Support

Email us: youremail@gmail.com

Our Team Memebers