Oleh : Andy P. Wijaya ( Abu Kayla )*
"(Tulisan
ini dipersembahkan untuk pengurus baru Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah
Piyungan dan Pimpinan Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah Piyungan yang terpilih
dalam Musyawarah Cabang Bersama Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, dan Ikatan
Pelajar Muhammadiyah pada tanggal 10 April 2011)".
Dewasa ini di negeri Indonesia, dimana kita berpijak saat
ini, sering terjadi kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Kekerasan-kekerasan
tersebut tidak jarang menggunakan asma Allah untuk melegitimasinya. Banyak kaum
intelektual yang melakukan analisa mengenai fenomena-fenomena kekerasan yang
menggunakan nama Allah tersebut, dan hasil dari analisa kaum intelektual
kebanyakan adalah “kekerasan atas nama agama tersebut terjadi karena kekecewaan
masyarakat terhadap pemerintah yang dianggap tidak mampu mengatasi berbagai
macam persoalan krusial yang berkaitan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan sehingga
masyarakat harus turun tangan sendiri untuk menyelesaikan persolan tersebut”.
Persoalan yang dianggap krusial yang menyebabkan konflik tersebut juga perlu
kita cermati lagi apakah benar kita sudah perlu untuk mengangkat pedang atas
nama Allah atau sebenarnya persoalan yang dianggap krusial tersebut hanya
sebuah persoalan mengenai tata cara hidup berdampingan dalam sebuah bangsa,
persoalan antara mayoritas dan minoritas, dan persoalan muamalah duniawiyah.
Terlepas dari semua yang terjadi saat ini, nampaknya kita perlu belajar
lagi mengenai pluralisme demi terwujudnya masyarakat yang dinamis, aman,dan
sejahtera.
Pluralisme di dalam kamus pintar populer diartikan
sebagai “konsepsi yang tegas berbagai prinsip, ruang lingkup dan kenyataan yang
tak mungkin diubah lagi”, sedangkan plurality pattern (pola pluralitan)
yaitu “suatu kemajemukan persahabatan yang mendalam, hingga menciptakan pola
tertentu”. Berdasarkan pengertian di atas, maka konsep pluralisme dalam
masyarakat dapat diartikan secara lebih luas yaitu “sikap menghargai dan
mengakui adanya perbedaan atau kemajemukan di tengah-tengah masyarakat”. Hal
ini senada dengan firman Allah swt dalam Q.S. Al Hujarat ayat 13 yang artinya :
“Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha mengetahui, Maha teliti”.
Sudah menjadi sunatullah adanya perbedaan di muka bumi ini, jadi sebagai muslim
yang baik kita harus mengakui dan menghargai perbedaan tersebut. Kita harus
dapat mengelola perbedaan menjadi sesuatu yang indah di muka bumi ini, bukan
menjadikan perbedaan sebagai ajang pamer eksistensi diri seperti yang pintar
menindas yang bodoh, yang kaya menindas yang miskin, yang mayoritas menindas
yang minoritas, dll.
Untuk berlangsungnya kehidupan yang harmonis maka kita dalam
bermasyarakat harus mengedepankan pluralisme yaitu sikap menghargai dan
mengakui adanya perbedaan atau kemajemukan. Paling tidak pluralisme dalam
kehidupan masyarakat dapat ditopang dengan dua pilar yaitu tasamuh dan
tabayyun. Tasamuh merupakan sikap toleransi atau menghargai terhadap sesama
dalam kehidupan ini. Sikap tasamuh ini harus kita tanamkan dalam kepribadian
kita karena kita hidup di dunia ini tidak sendirian, akan tetapi kita hidup
bersama masyarakat luas dan berada dalam sistem sosial yang terbentuk secara
alamiah akibat dari hasil interaksi sosial antar anggota masyarakat. Apabila
tasamuh tidak kita kedepankan,maka kita akan menjadi individu yang egois atau
mementingkan diri sendiri sehingga secara alamiah pula kita akan tersingkir
dari sistem sosial yang ada. Selain itu apabila sikap tasamuh tidak kita kedepankan
dalam bermasyarakat maka kita akan rentan dan berpotensi terhadap
konflik-konflik sosial yang kadang konflik tersebut juga diatasnamakan dengan
agama.
Sedangkan tabayyun berasal dari kata tabayyana tabayyunan.
Kata tabayyun itu mashdar (kata benda) dari tabayyunan. Tabayyun berarti
mencari kejelasan informasi dan mencari bukti kebenaran informasi yang
diterima. Sikap tabayyun ini juga perlu kita tanamkan dalam kepribadian kita
supaya tidak mudah terjebak kedalam konflik yang belum jelas akar permasalahannya.
Setiap permasalahan yang ada di lingkungan sekitar, sebaiknya kita harus
mengetahui duduk permasalahannya secara jelas. Jangan sampai kita melakukan
perbuatan yang sifatnya destruktif tanpa mengetahui permasalahan apa yang
sesungguhnya terjadi. Maka kita harus selalu mencari kejelasan informasi dan
mencari bukti kebenaran informasi yang kita terima supaya kita tidak mudah
terpengaruh oleh isu-isu yang bisa menyebabkan ketidakharmonisan dalam
bermasyarakat. Selain itu dengan sikap tabayyun kita dapat terhindar dari
prasangka-prasangka yang menyebabkan permusuhan diantara kita. Allah berfirman
dalam surat Al Hujurat aya 12 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu
dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada
diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik.
Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha penerima tobat, Maha
penyayang”.
Perintah untuk melakukan tabayyun ini juga terdapat di dalam
Al Qur’an surat An Nisa ayat 94 yang artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah (carilah
keterangan/informasi) dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan “salam” kepadamu, ”kamu bukan orang yang beriman”, (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di
sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu
Allah memberikan nikmat kepadamu, maka telitilah. Sungguh, Allah Maha teliti
terhadap apa yang kamu kerjakan”. Perintah untuk tabayyun merupakan
perintah yang sangat penting, terutama pada akhir-akhir ini dimana kehidupan
antar sesama umat sering dihinggapi prasangka. Allah memerintahkan kita untuk
bersikap hati-hati dan mengharuskan untuk mencari bukti yang terkait dengan isu
mengenai suatu tuduhan atau yang menyangkut identifikasi seseorang.
Dalam Tafsir Al Qur’an Departemen Agama tahun 2004 mengenai
surat An Nisa ayat 94 di atas, tersirat suatu perintah Allah bahwa setiap
mukmin yang sedang berjihad fi sabilillah hendaknya bersikap hati-hati
dan teliti terhadap orang lain. Jangan sampai kita tergesa-gesa menuduh orang
lain, apalagi tuduhan itu diikuti dengan tindakan yang bersifat merusak atau
kekerasan. Terhadap mereka yang mengucap “Assalamu’alaikum” atau “la ilaaha
illallah”, misalnya, yaitu ucapan yang lazim dalam Islam, terhadap orang
tersebut tidak boleh dituduh “kafir”, sekalipun ucapan itu hanya dhahirnya. Ini
hanya sekedar contoh, dimana kita tidak boleh gegabah dalam mensikapi orang
lain.
Saat ini banyak orang atau suatu kelompok yang sering atau
gampang berprasangka negative terhadap kelompok lain, atau menuduh sesat
golongan lain, dan kadang disertai hujatan, penghakiman secara sepihak, dll.
Mensikapi orang lain hanya berdasar pada sangkaan-sangkaan negative atau
isu-isu yang beredar atau bisikan orang lain, merupakan sikap yang tidak
tabayyun, atau tidak mau tau apa yang sebenarnya terjadi. Perintah tabayyun
atau mendalami masalah, merupakan peringatan supaya jangan sampai umat Islam
melakukan tindakan yang menimbulkan dosa dan penyesalan akibat keputusannya
yang tidak adil atau merugikan pihak lain. Oleh karena itu, sikap tabayyun
sangat penting dalam menopang tegaknya pluralisme di kehidupan masyarakat.
Pluralisme memang perlu ditegakkan demi terwujudnya
masyarakat yang harmonis, akan tetapi ada satu jenis pluralisme yang wajib
untuk kita hindari yaitu pluralisme agama. Pengertian pluralisme agama berbeda
dengan pluralisme secara umum yang sudah dijelaskan di atas, akan tetapi
pengertian pluralisme agama adalah sikap atau pemahaman yang menganggap bahwa
semua agama yang ada di muka bumi ini semua benar dan sama. Meskipun para
penganut pluralisme agama ini juga berpendapat bahwa sikap pluralisme agama
ditegakkan demi terwujudnya masyarakat yang harmonis, akan tetapi hal itu tetap
tidak bisa dibenarkan. Orang Islam yang mukmin harus selalu menyakini bahwa
agama yang benar dan diterima oleh Allah hanyalah Islam. Hal ini senada dengan
firman Allah “inna dinna ‘indaallahil islam” (agama yang diterima di sisi Allah
hanyalah Islam). Prof. DR. H. Muhammad Chirzin, M.Ag. seorang guru besar UIN
Sunan Kalijaga berpendapat bahwa mengakui keanekaragaman agama dan keberagaman
orang lain bukan berarti menyamakan semua agama dan bukan berarti membenarkan
agama-agama lain itu. Dalam Islam sudah diatur mengenai hubungan antar
beragama, jadi kita tidak perlu berpendapat dan memahami bahwa pluralisme agama
harus ditegakkan demi terwujudnya masyarakat yang harmonis.
Pada prinsipnya, dalam hal muamalah Islam membolehkan
umatnya untuk bermuamalah kepada siapa saja asalkan tidak melanggar syariat
Islam. Namun dalam hal aqidah, Islam juga tegas mengaturnya dengan konsep
“lakum diinukum wa liyadiin” (agamamu untukmu dan agamaku untukku). Jadi untuk
urusan agama kita harus tegas dan keras bahwa Islam adalah agama yang benar dan
tidak sama dengan agama-agama lainnya.
Saat ini banyak umat Islam yang aqidahnya sudah tercemari
dengan faham pluralisme agama. Kaum yang menganut faham pluralisme agama ini
beranggapan bahwa yang berhak masuk surga itu tidak hanya orang Islam saja,
akan tetapi orang yang bukan Islam juga bisa masuk surga. Dengan kata lain,
bahwa agama di dunia ini tidak hanya Islam saja yang benar akan tetapi
agama-agama selain Islam juga benar asalkan beriman dan beramal sholeh. Dasar
yang digunakan oleh kaum yag menganut pluralisme agama ini adalah Al Qur’an
surat Al Baqarah ayat 62 yang artinya : “sesungguhnya orang-orang mukmin,
orang-orang yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabi’in, siapa saja
diantara mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal sholeh,
mereka akan menerima pahala dari tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Kaum pluralisme agama
menafsirkan ayat tersebut hanya secara harfiah saja, sehingga pemahaman yang
diperolehnya adalah “orang-orang yang beriman yang tetap dengan keimanannya,
orang-orang yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabi’in yang beriman
kepada Allah dan hari akhir serta melakukan amal sholeh sekalipun tidak beriman
kepada Nabi Muhammad, maka mereka juga akan memperoleh balasan yang baik pula
dari Allah”.
Namun dalam memahami ayat kita tidak boleh hanya menafsirkan
secara harfiah saja, akan tetapi paling tidak kita harus mengetahui kadiah
asbabunnuzul (sebab diturunkan ayat) dan nasikh mansukh (menghapus dan
dihapus), serta kaidah lainnya. Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Salman,
sebab turunnya ayat ini (Al Baqarah ayat 62) adalah terkait dengan pertanyaan
Salman kepada Rasulullah saw tentang penganut agama yang pernah dianutnya
sebelumnya bersama teman-temannya yang dulu. Dalam riwayat lain diterangkan bahwa
ketika Salman menceritakan kepada Rasulullah kisah teman-temannya, maka
Rasulullah bersabda : “mereka di neraka”. Salman berkata : “seolah-olah gelap
gulitalah bumi bagiku, akan tetapi kemudian turunlah Q.S. Al Baqarah ayat 62
ini, maka seolah-olah terang benderanglah dunia bagiku”. [Asy-Syaukani hal.
62].
Menurut Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu
Jarir dan Ibnu Abi Hatim, setelah Allah menurunkan Surat Al Baqarah ayat 62,
lalu Allah menurunkan surat Ali Imran ayat 85 yang artinya : “Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.
Ibnu Abbas berpendapat bahwa surat Ali Imran ayat 85 ini menasikhkan
(menghapuskan) surat Al Baqarah ayt 62. Namun ada ulama yang berpendapat lain
bahwa surat Ali Imran ayat 85 tidak menasikhkan (menghapuskan) surat Al Baqarah
ayat 62, akan tetapi surat Ali Imran ayat 85 ini untuk menegaskan keharusan
beriman kepada Nabi Muhammad saw bagi setiap orang yang beriman. [Al Qurthubiy
hal. 436].
Surat Al Baqarah ayat 62 sebenarnya menjelaskan bahwa
orang-orang yang membenarkan Rasulullah dengan ajaran yang dibawa beliau
sebagai kebenaran yang datang dari Allah, orang-orang yahudi, orang-orang
nasrani, dan orang-orang shabi’in apabila mereka beriman kepada Allah dan
adanya hari akhirat, dengan membuktikan keimanannya melalui mengakui dan
mengikuti syariat atau ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw, yang keimanannya
itu mendorongnya untuk beramal sholeh dan tidak berpaling sampai akhir
hayatnya, maka mereka akan mendapatkan pahalanya dari sisi Allah dan akan
mendapatkan kebahagiaan sebagai imbalan dari iman dan amal sholehnya. Jadi
tidak ada alasan lagi bagi kaum pluralisme agama yang beranggapan bahwa semua agama
di dunia ini sama dan benar semua, serta anggapan bahwa yang berhak untuk masuk
surga tidaklah hanya orang Islam saja akan tetapi orang selain Islam pun juga
berhak untuk masuk surga. Secara tegas dapat kita simpulkan bahwa
anggapan-anggapan kaum pluralisme agama tersebut salah. Hanya Islam agama yang
benar dan hanya orang Islam yang taat terhadap perintah Allah dan selalu
menjauhi larangan Allah saja yang berhak untuk mendapatkan surga.
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa tidak akan
diterima imannya ahli kitab atau siapapun yang sudah mengetahui Nabi Muhammad
dan risalah yang dibawanya akan tetapi mereka tidak beriman kepada Nabi
Muhammad saw dan risalah yang dibawanya. Dalam kitab tafsir Al Maraghi
dijelaskan pendapat Imam Al ghazali yang menjelaskan bahwa manusia dalam
mensikapi risalah Nabi Muhammad saw terbagi menjadi tiga golongan.
Pertama, orang yang tidak mengetahui sama sekali tentang
Muhammad, baik nama ataupun risalahnya, maka orang ini selamat. Kedua, orang
yang mengetahui Muhammad dan telah sampai risalahnya kepadanya, tetapi ia tidak
mempedulikannya baik karena meremehkan, mengingkari, ataupun karena sombong
terhadapnya, maka orang seperti ini nanti akan dituntut di hari akhirat dan
akan disiksa karena perbuatannya (keingkarannya). Ketiga, orang yang sudah
sampai kepadanya nama Muhammad tetapi belum memahami betul dakwah dan
risalahnya, malah informasi yang sampai kepada mereka adalah yang buruk-buruk
tentang Muhammad, seperti pembohong, pemalsu yang mengaku sebagai nabi,dll. Mereka
tidak mengetahui selain dari itu mengenai Muhammad, maka mereka ini termasuk
(disamakan dengan) golongan yang pertama, sebab mereka mendengar tentang
Muhammad, tetapi tidak mendapatkan informasi yang benar tentangnya dan
risalahnya. [Tafsir Al Maraghi, Terjemahan K. Anshari Umar Sitanggal dkk,
Semarang : Toha Putra, 1992, jilid I hal. 237].
Sebagai muslim yang baik kita sudah seharusnya untuk selalu
menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat dengan cara saling menghormati dan
menghargai adanya perbedaan. Karena sesungguhnya perbedaan ini merupakan
sunatullah sehingga kita harus selalu menjaga keharmonisan di dalam perbedaan.
Semua perbedaan ini tercipta supaya kita saling mengenal satu sama lainnya,
supaya kita dapat belajar dengan adanya perbedaan, serta dengan perbedaan kita
dapat mengetahui kebesaran Allah swt. Namun demikian, dengan perbedaan kita
tetap tidak boleh menyamakan dalam hal aqidah. Umat Islam harus menyakini bahwa
Islam yang benar dan hanya Islam yang akan diterima di sisi Allah swt. Apapun alasannya
mengenai soal aqidah, Islam tetap yang benar. Kita harus bisa membedakan antara
pluralisme masyarakat dan pluralisme agama, dan kita tidak boleh
mencampuradukkan antara pluralisme masyarakat dan pluralisme agama.
Akhir
kata, mari kita renungkan ayat Allah dan hadits nabi di bawah ini :
"Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi".
“Dari Ibnu Umar r.a., bahwasanya Rasulullah saw
bersabda,”Aku diperintah memerangi manusia hingga mereka bersaksi tiada Tuhan
selain Allah, melaksanakan shalat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah
melakukan itu berarti telah melindungi darah dan harta mereka kecuali dengan
alasan yang dibenarkan Islam, sedangkan perhitungan mereka (termasuk orang baik
atau buruk) adalah wewenang Allah swt”.
(HR.
Bukhari, Kitabul Iman Bab Fa in Tabuu wa Aqamu as-shalata, hadits no. 25,dan
Hadits riwayat Muslim, Kitabul Iman Bab al-Amru bi Qitalin Naas Hatta Yaqulu
Laa Ilaaha Ilallah, hadits no. 22)
Waallahu’alam
bisshouwwab,.
Cepokosari,
13 April 2011
Referensi
:
-
Tafsir Al Qur’an Departemen agama Tahun 2004
-
Tafsir Al Maraghi
-
Andy p. wijaya, makalah Tabayyun
-
Majalah Suara Muhammadiyah
-
Majalah Tabligh
-
Ceramah-ceramah pengajian
- Shahih
Bukhari dan Muslim
8. Mushaf Al Qur’an Terjemah edisi 2002, penerbit
Al-huda
* Penulis adalah Ketua Bidang Dakwah Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Piyungan, Mantan anggota bidang dakwah PC IPM, dan aktifis IMM.
Sumber : Memahami dan mensikapi pluralisme
0 komentar:
Posting Komentar