Oleh : Hasby Marwahid
Tayangan televisi pada akhir-akhir ini sedang marak menyuguhkan berita
tentang banjir di mana-mana, khususnya di ibukota Indonesia, Jakarta. Mulai
dari pusat kota, pinggiran sungai, sampai istana kepresidenan pun tidak luput
dilanda banjir. Kondisi tersebut menimbulkan efek yang begitu mendalam, seperti
pengungsian, jalanan macet sampai pada aktifitas perekonomian yang hampir “mandek”. Jalannya pemerintahan pun juga
terancam terganggu dengan adanya “musibah rutin musiman” ini. Tidak bisa kita pungkiri, banjir selalu dan selalu saja seperti
menjadi hal yang wajar terutama di ibukota.
Kita sering melihat, bagaimana pemerintah selalu mencarikan solusi
untuk musibah rutin musiman ini. Pergantian pemimpin dari waktu-kewaktu
ternyata belum juga mampu mengurangi sampai menuntaskan tragedi banjir. Kondisi
tersebut membuat kita menjadi prihatin atas keseringan musibah yang berdampak
dalam berbagai macam aktifitas masyarakat. Hal tersebut menjadi semacam sejarah yang selalu
berulang seakan tiada pangkalnya.
Bila melihat
analisa dari beberapa pakar dari beberapa surat kabar akhir-akhir ini, bahwa
banjir di Jakarta bukan karena adanya curah hujan yang tinggi. Pasalnya, air
bah yang datang lebih di Jakarta disebabkan oleh kawasan resapan di daerah
Bogor yang rusak dan kondisi sungai-sungai yang menyempit. Bantaran sungai yang
sebenarnya sebagai tempat untuk lewatnya air, beralih fungsi menjadi
hunian-hunian manusia. Kondisi ini diperparah dengan daerah resapan air yang
berada di Bogor telah rusak dengan berkurangnya pohon-pohon menjadi vila, dan
tempat-tempat usaha yang menabrak tata ruang. Jadi jangan heran jika turunya
hujan yang tidak terlalu deras pun dapat menyebabkan banjir.
Salah satu persepsi umum bahwa banjir berasal
dari curah hujan yang tinggi. Hal ini dari satu sisi memang tidak bisa ditolak,
namun di sisi lain, banjir juga disebabkan oleh kelakuan manusia itu sendiri. Pendirian
bangunan yang tidak memperhatikan etika lingkungan, pembabatan hutan yang
membabi-buta, pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya ada beberapa faktor
kecil dari permasalahan pelik tersebut.
Air
terus mengalir mencari tempat untuk bermuara menuju tempat yang lebih rendah.
Jika tempat tersebut tidak ada, bisa dipastikan air akan mencari jalan lain
atau mandek di tempat tersebut,
begitu sekiranya konsekuensi logisnya.
Beberapa solusi
banjir sudah banyak digelontorkan dalam berbagai saluran, seperti pendidikan,
seminar-seminar, diskusi-diskusi, dan sebagainya. Namun, teori-teori tersebut
menjadi utopis jika tidak ada kesadaran dan tindakan nyata untuk lepas dari
permasalahan yang menyejarah, yakni banjir. Kesadaran dapat dibangun sejak
dini, mulai dari diri sendiri yang sadar. Jika tidak, lihatlah apa yang terjadi
di Ibukota sekarang ini. Jika beberapa daerah yang tidak terkena banjir punya maindset seperti di atas, maka
permasalan ini dapat sedikit ditanggulangi. Seperti kata pepatah “sedia payung
sebelum hujan”, tampaknya masih relevan dalam setiap permasalahan, termasuk
banjir. Pasalnya, masalah ini pasti akan terus menghantui manusia kapan pun dan
dimana pun.
0 komentar:
Posting Komentar