Oleh : Hasby Marwahid
Het wonder is gescheld, insulide, de schoone
slaaper is ontwaakt. “ suatu kejadian telah terjadi, insulide,
putri jelita yang tidur itu telah bagkit” (Mr. Conrad Theodore van Deventer)
Toynbee yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir di
London, Inggris pada tanggal 14 April tahun 1889. Ia merupakan sejarawan besar
yang menulis buku monumental yang mengulas tentang peradaban manusia, A Study
of history sejumlah 12 jilid antara tahun 1934-1961 yang menuliskan tentang
sebuah metahistory yang ada dalam peradaban yang mencakup kemunculan,
pertumbuhan dan kehancurannya. Toynbee merupakan kemenakan dari seorang
sejarawan terkenal Arnold Toynbee, di mana namanya dengan sang paman sering
salah digunakan karena kemiripan nama. Toynbee memperkenalkan sejarah dalam
kaitan dengan challenge-and-response. Peradaban muncul sebagai jawaban atas
beberapa satuan tantangan kesukaran ekstrim, ketika "minoritas
kreatif" yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Minoritas
kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki "self-determining"
(kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat
yang kuat). Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa
keluar dari masyarakat primitif.
Menarik setelah membaca tentang teori
yang dipaparkan oleh Toynbee ini, kemudian kalau dikorelasikan dengan sejarah
Indonesia, terutama sejak awal abad ke 20. Dalam metode perjuangan yang sudah
bisa dikatakan modern. Artinya, jika kita bandingkan dengan abad-abad
sebelumnya terutama terletak dalam penggunaan “akal dan okol”. Ternyata
kekuatan otak lebih maju daripada hanya dengan otot saja. Akan tetapi dalam
melihat hal ini harus balance, karena dalam perjuangan (revolusi_red), tidak
hanya otak saja, tetapi gerakan nyata juga harus ada. Akal untuk berfikir,
menyusun strategi dan otot untuk bergerak mengaplikasikan hasil dari proses
kerangka berfikir.
Masa-masa perlawanan fisik berubah keperlawanan non-fisik.
Senjata tidak lagi menjadi panglima. Golongan intelektual mulai bermunculan
lewat sistem bentukan pemerinah kolonial Belanda sendiri. Politik etis yang
timbul karena kritikan dari kaum-kaum kritis di Belanda, seperti C. Th. Van
Deventer yang dimuat dalam majalah The Gids tahun 1899, berjudul Een
Ereschuld (Debt of Honour) atau hutang kehormatan. Politik etis mencakup
tiga hal (trias), yaitu irigasi, migrasi, edukasi. Secara tekstual
memang bertujuan mensejahterkan pribumi, tapi dalam aplikasinya tidak jauh-jauh
dari kepentingan yang diusung oleh kolonial Belanda sendiri. Misalnya dalam
bidang pendidikan, hal ini bertujuan untuk menciptakan pegawai-pegawai yang
bekerja untuk kepentingan kolonial, seperti menciptakan juru tulis, pangreh praja,
juru ketik, controlir perkebunan dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam
perjalanan watu, dengan adanya pengkotak-kotakan di dalam sistem pendidikannya,
yaitu antara sekolah untuk bangsa Belanda (Eropa), Cina, Arab, dan Pribumi
ternyata menjadi titik balik bagi sejarah Indonesia.
Lulusan dari sekolah bentukan Belanda ini sebagian ada yang
menjadi intelektual-intelektual yang kritis. Sebut saja seperti Sutomo, Wahidin
Sudiro Husodo, Cipto Mangkusumo menjadi penggerak awal perjuangan teknik baru
(modern). Perjuangan dimulai dengan mendirikan organisasi, partai, pers dan
sebagainya. Hal ini juga ada dikalangan ulama, dan kaum pribumi lainya seperti
KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya dan HOS Cokroaminoto dengan Sarekat
Dagang Islamnya. Golongan intelektual kritis minoritas ini mulai bermunculan di
balik ribuan penduduk pribumi yang masih berkutat dalam kebodohan dan
keterbelakangan. Mereka berjuangan atas asas atau metodenya masing-masing,
berusaha mensejahterkan masyarakat dan menentang praktik-praktik yang dilakukan
oleh pemerintah kolonial Belanda. Masa ini sering disebut dalam Sejarah
Indonesia sebagai masa-masa “Pergerakan Nasional”.
Mereka berjuang menegakkan hak-hak yang telah dirampas oleh
pemerintah kolonial Belanda. Perjuangan dengan segala cara lewat politik,
diplomasi dan sebagainya akhirnya membuahkan hasil. Walaupun kadang terdapat
konflik-konflik intern yang tidak dapat dihindarkan, seperti perbedaan asas
perjuangan (non-cooperasi vs cooperasi), masalah idiologi dan
sebagainya. Semisal dalam perkembangan selanjutnya, muncul seperti Tan Malaka,
Soekarno, Hatta, Hasyim Asyari dan sebagainya. Para intelektual minoritas itu
memang dalam perjalanannya dapat merubah bangsa ini. Seiring dengan berjalannya
zaman yang terus bergerak mendatangkan situasi-situasi baru. Hal ini sebenarnya
tidak hanya terjadi di Indonesia saja, akan tetapi di belahan bumi manapun,
keberadaan dari para “kaum kreatif” minoritas ini yang pada akhirnya merubah
suasana bangsa mereka masing-masing. Kejadian dibeberapa tempat di belahan bumi
ini, selalu ada dampaknya baik di suatu tempat ke tempat lain. Jadi
peristiwa-peristiwa itu menjadi serangkaian acuan untuk bergerak mengikuti
teori dan pola masing-masing.
Kita tahu, bahwa sekarang jaman semakin maju, IPTEK semakin
berkembang, dan disisi lain permasalahan semakin kompleks. Pertarungan
pemikiran, ide-ide, benturan peradaban tidak bisa dipungkiri. Khususnya untuk
Indonesia, kita merindukan munculnya para “kaum minoritas kreatif “ini yang
nantinya akan membawa bangsa ini ke ranah yang SEMAKIN baik, karena mayoritas
manusia dimanapun berada pasti menginginkan keadilan, kedamaian, kesejahteraan,
dan sebagainya. Maka dari itu, kalau memengok kembali sejarah pergerakan
nasional dulu, mereka berhasil membawa bangsa ini menuju ke pintu gerbang
kemerdekaan, dan sekarang kita kita membutuhkan orang-orang yang lebih bisa
membawa menuju kemerdekaan yang lebih merdeka dalam segala aspek.
Pemikiran pribadi, setelah sekian lama berkutat dengan
buku-buku sejarah indonesia ini. Ternyata seperti yang dikatakan Cicero ; HISTORIA
MAGISTRA VITAE, bahwasanya sejarah adalah guru kehidupan. Maka dari itu
masa lalu itu selalu aktual, tinggal bagaimana kita mengaplikasikan masa lalu
di masa kini. Semoga kita tidak terjebak dalam hal-hal yang terjadi di masa
lalu (introspeksi). Yang terpenting bukan bagaimana belajar sejarah, tapi
bagaimana belajar dari sejarah.
0 komentar:
Posting Komentar